Jumat, 29 Juli 2011

Breathing Disorder

A.   KONSEP MEDIS
1. Pengertian Gangguan Pernapasan
Gangguan pernapasan merupakan istilah umum untuk berbagai kondisi yang berkaitan dengan sistem pernapasan, dari pilek dan asma untuk emfisema dan pneumonia. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya obstruksi laring, trahkea atau jalan nafas yang besar oleh benda asing, tumor atau inflamasi. Ini adalah tanda yang memerlukan perhatian yang mendesak.
Laring atau pangkal tenggorok merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di bagian depan faring sampai ketinggian vertebra servikal 6 dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorok itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari tulang – tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
Laring terdiri dari lima tulang rawan antara lain:
a.    Kartilago tiroid satu buah depan jakun (Adam’s apple), sangat jelas terlihat pada pria.
b.    Kartilago ariteanoid yang berbentuk beker
c.    Kartilago krikoid satu buah yang berbentuk cincin.
d.    Kartilago epiglottis satu buah.
Terdapat perbedaan laring bayi dengan laring orang dewasa, diantaranya adalah:
a.    Laring bayi secara relative dan absolute lebih kecil dari pada laring dewasa.
b.    Laring bayi terletak lebih tinggi di leher dan akan turun menjadi seperti orang dewasa salama bulan pertama.
c.    Jaringan laring bayi lebih lunak dari pada laring orang dewasa.
d.    Terdapat perbedaan ukuran yang jelas antara ukuran glotis dengan besarnya bayi.
e.    Mukosa laring bayi bersifat hipersensitif.
Hal ini berguna sebagai mekanisme pertahanan terhadap gangguan aliran udara dalam hubungan dengan proses menelan. Dengan mengetahui perbedaan ini, maka diagnosis penyebab stridor sangatlah penting. Stridor adalah bunyi, getaran keras pitch variabel yang disebabkan oleh penyumbatan sebagian jalan napas, menyebabkan aliran udara turbulen. Dengan kata lain stridor merupakan kondisi abnormal, di mana suara pernapasan bernada tinggi yang disebabkan oleh sumbatan di tenggorokan atau kotak suara (laring). Biasanya dengar saat mengambil napas. Anak-anak lebih berisiko terhadap penyumbatan saluran napas karena saluran udara mereka lebih sempit daripada saluran udara orang dewasa. Hal ini selalu merupakan gejala yang penting bila terjadi pada orang dewasa atau anak, sebab sumbatan pernafasan mungkin memerlukan saluran nafas buatan (trakeostomi) atau pemasangan pipa endotrakea.  Suara stridor tergantung pada lokasi dari obstruksi di saluran pernapasan bagian atas. Biasanya, stridor yang terdengar ketika bernafas anak dalam (inspirasi), tetapi juga dapat didengar saat ekspirasi.
Meskipun stridor mungkin merupakan hasil dari proses relatif jinak, juga dapat menjadi tanda pertama yang serius dan bahkan gangguan yang mengancam jiwa. Stridor pada orang dewasa sering disertai dengan gejala lain seperti suara serak, sesak nafas dan batuk. Pada bayi dan anak kecil mungkin tanpa disertai gejala – gejala lain dan untuk mengetahui penyebabnya perlu sekali dilakukan pemeriksaan pada semua anak dengan stridor.

2. Etiologi
Ada berbagai penyebab dari stridor. Beberapa penyebab adalah penyakit, sedangkan yang lain adalah masalah dengan struktur anatomi saluran napas anak. Saluran napas bagian atas pada anak-anak yang lebih pendek dan lebih sempit daripada orang dewasa dan karenanya, lebih mungkin menyebabkan masalah dengan obstruksi. Berikut ini adalah Empat penyebab tersering penyebab gagal napas pada obstruksi saluran napas atas yang dapat menimbulkan stridor pada anak-anak umumnya yaitu, Benda asing (tersedak kacang, aspirasi makanan), Epiglotitis (peradangan pita suara), Sindrom croup, dan Laringomalasia :
a.    Benda asing
Sekitar 70% kejadian aspirasi benda asing terjadi pada anak berumur kurang dari 3 tahun. Hal ini terjadi karena anak seumur ini sering tidak terawasi, lebih aktif, dan cenderung memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya. Aspirasi benda asing ke dalam saluran napas akan menimbulkan gejala sumbatan jalan napas.
Gejala klinik yang timbul tergantung pada jenis benda asing, ukuran, sifat iritasinya terhadap mukosa, lokasi, lama benda asing di saluran napas, dan ada atau tidaknya komplikasi. Penderita umumnya datang ke rumah sakit pada fase asimptomatik. Pada fase ini keadaan umum penderita masih baik dan foto toraks belum memperlihatkan kelainan. Pada fase pulmonum, benda asing di bronkus utama atau cabang-cabangnya akan menimbulkan gejala batuk, sesak napas yang makin lama semakin bertambah berat, pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang dengan mengi, dan dapat disertai demam.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya aspirasi benda asing adalah:
1.    usia yaitu pada anak-anak, dimana mereka sering memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut, gigi geligi yang belum lengkap dan refleks menelan yang belum sempurna.
2.    jenis kelamin, lebih sering pada laki-laki.
3.    lingkungan dan kondisi sosial.
4.    kegagalan mekanisme proteksi, misalnya penurunan kesadaran, keadaan umum buruk, penyakit serebrovaskuler, dan kelainan neurologik.
5.    faktor kecerobohan, misalnya kebiasaan menaruh benda di mulut, makan dan minum tergesa-gesa.
Faktor fisiologik dan sosiologik lain yang juga merupakan faktor predisposisi antara lain:
1.    pertumbuhan gigi belum lengkap
2.    belum terbentuk gigi molar
3.    belum dapat menelan makanan padat secara baik
4.    kemampuan anak membedakan makanan yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan belum sempurna.
5.    Benda tersangkut pada saat makan sambil tertawa, bicara menangis, dan berlari.
Pada orang tua, terutama yang mempunyai gangguan neurologis dan berkurangnya refleks menelan dapat disebabkan oleh pengaruh alkohol, stroke, parkinson, trauma, dementia juga mempunyai risiko yang besar untuk terjadinya aspirasi.
Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yang khas yaitu :
1.    choking’ (rasa tercekik).
2.    gagging’ (tersumbat).
3.    sputtering’ (gagap).
4.    wheezing’ (napas berbunyi).
5.    paroxysmal coughing.
6.    serak, disfonia sampai afonia dan sesak napas tergantung dari derajat sumbatan.
Choking atau coughing timbul pada hampir 95% anak dengan aspirasi benda asing dan 50% diantaranya mempunyai gejala stridor inspirasi atau wheezing ekspirasi, dengan pemanjangan ekspirasi dan ronki. Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan dengan auskultasi (audible stridor) dan palpasi di daerah leher (palpatory thud). Jika benda asing menyumbat total trakea akan timbul sumbatan jalan napas akut yang memerlukan tindakan segera untuk membebaskan jalan napas. Gejala pada dewasa umumnya sama dengan gejala pada anak tetapi gejala paru termasuk edema paru banyak ditemukan.
Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi total dan benda asing tidak tajam lakukanlah back blows, abdominal thrusts atau Heimlich. Metode ini tergantung umur penderita. Bronkoskopi merupakan terapi pilihan untuk kasus aspirasi. Pemberian steroid dan antibiotik preoperatif dapat mengurangi komplikasi seperti edema saluran napas dan infeksi. Metilprednisolon 2 mg/kg IV dan antibiotik spektrum luas yang cukup mencakup Streptokokus hemolitik dan Staphylococcus aureus dapat dipertimbangkan sebelum tindakan bronkoskopi.
Riwayat, pemeriksaan fisik dan radiologi sering menunjukkan dugaan benda asing saluran napas tanpa diagnosis pasti. Pada keadaan ini harus dibuktikan adanya benda asing secara endoskopi untuk menyingkirkan dari diagnosis diferensial. Keterlambatan mengeluarkan benda asing akan menambah tingkat kesulitan terutama pada anak, tetapi ahli endoskopi menyatakan walaupun bronkoskopi harus dilakukan pada waktu yang tepat dan cepat untuk mengurangi risiko komplikasi terapi tidak harus dilakukan terburu-buru tanpa persiapan yang baik dan hati-hati.
Penatalaksanaan dan teknik ekstraksi benda asing harus dinilai kasus per kasus sebelum tindakan ekstraksi. 
a.    Epiglotitis
Epiglotitis (kadang disebut supraglotitis) adalah suatu infeksi pada epiglotis, yang bisa menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan dan kematian. Epiglotis adalah tulang rawan yang berfungsi sebagai katup pada pita suara (laring) dan tabung udara (trakea), yang akan menutup selama proses menelan berlangsung. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh bakteri Haemophillus influenzae tipe B. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang disebabkan oleh streptokokus.
Epiglotitis paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur 2-5 tahun dan jarang terjadi pada anak yang berumur dibawah 2 tahun. Infeksi biasanya bermula di saluran pernafasan atas sebagai peradangan hidung dan tenggorokan. Kemudian infeksi bergerak ke bawah, ke epiglotis. Infeksi seringkali disertai dengan bakteremia. Epiglotitis bisa segera berakibat fatal karena pembengkakan jaringan yang terinfeksi bisa menyumbat saluran udara dan menghentikan pernafasan.
Infeksi biasanya dimulai secara tiba-tiba dan berkembang dengan cepat. Gejalanya terdiri dari, nyeri tenggorokan, gangguan menelan, gangguan pernafasan, badannya bungkuk ke depan sebagai upaya untuk bernafas, stridor, suara serak, menggigil, demam, sianosis. Infeksi juga kadang menyebar ke persendian, selaput otak, kantung jantung atau jaringan bawah kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan dengan laringoskopi yang menunjukkan pembengkakan epiglotis.
Pembiakan darah atau lendir tenggorokan bisa menunjukkan adanya bakteri. Pada pemeriksaan darah lengkap tampak peningkatan jumlah sel darah putih. Rontgen leher bisa menunjukkan adanya pembengkakan epiglotis. Epiglotitis merupakan suatu keadaan gawat darurat, yang jika tidak segera diatasi bisa berakibat fatal. Anak harus segera dibawa ke rumah sakit dan biasanya ditempatkan di ruang perawatan intensif. Diberikan oksigen dan hampir selalu dilakukan pembukaan saluran pernafasan, baik dengan cara memasukkan tuba endotrakeal maupun dengan cara membuat lubang di leher bagian depan (trakeostomi). Untuk meningkatkan hidrasi, diberikan cairan infus.
Antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi. Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi pembengkakan. Imunisasi pertama untuk mencegah infeksi H. influenzae biasanya diberikan pada saat anak berusia 2 bulan.
b.    Croup
Croup adalah terminologi yang digunakan untuk menunjukan beberapa penyakit pernafasan yang memiliki karakteristik berupa batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dalam berbagai derajat yang disebabkan obstruksi pada daerah laring, dengan atau tanpa tanda stres pernafasan. Pada sindrom croup peradangan jalan nafas terutama terjadi di daerah laring (laringitis subglotik, laringitis spasmodik) sampai dengan bronkus (laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis).
Etiologi dari sindrom croup sebagian besar adalah virus. Diantaranya yaitu :
1.    virus parainfluenza terutama tipe 1 (bertanggungjawab atas 80% kasus croup) dan 3.
2.    Influenza A and B, adenovirus, respiratory syncytial virus (RSV), echo virus, rhinovirus.
Penyebab lain yang jarang adalah Mycoplasma pneumonia. Pada perjalanan penyakit tidak jarang terjadi infeksi bakteri sekunder, antara lain oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis. Edema mukosa pada daerah glottis akan menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan gejala sesak nafas. Penyempitan saluran nafas akibat inflamasi ini menyebabkan turbulensi udara yang menyebabkan terjadinya stridor. Pada kebanyakan kasus, anak-anak dengan sindrom croup tidak memerlukan uji klinis lain selain anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Hal yang terpenting adalah menegakkan diagnosis yang tepat atas penyakit obstruktif akut lainnya.
Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kelompok dapar dilihat pada tabel 1. Pembagian ini juga dapat diperoleh dengan menilai penyakit melalui Westley Croup Score, tabel 2.
Tabel 1 Derajat kegawatan Croup.
Derajat Kegawatan
Karakteristik
Ringan
Kadang-kadang batuk menggonggong, tidak terdengar stridor ketika istirahat, retraksi ringan atau tidak ada.
Sedang
Batuk menggonggong yang sering, stridor yang terdengar pada saat istirahat, terdapat retraksi pada saat istirahat, anak tidak gelisah
Berat
Batuk menggonggong yang sering, stridor ekspirasi, terdapat retraksi sternal yang jelas, anak gelisah dan terdapat tanda-tanda distress
Ancaman gagal nafas
Batuk menggonggong, stridor yang terdengar saat istirahat, terdapat retraksi sternal, letargi atau terdapat penurunan kesadaran dan sianosis

Tabel 2. Skor Westley
Kriteria

Nilai
Retraksi
Tidak ada
0
Ringan
1
Sedang
2
Berat
3
Masuknya udara
Normal
0
Berkurang
1
Sangat berkurang
2
Srtidor inspirasi
Tidak ada
0
Gelisah
1
Istirahat dengan stetoskop
2
Istirahat tanpa stetoskop
4
Sianosis
Tidak ada
0
Gelisah
4
Istirahat
5
Derajat Kesadaran

Sadar
0
Gelisah, cemas
2
Penurunan kesadaran
5

Skor Westley sangat banyak digunakan untuk menilai derajat kegawatan croup. Skor 0-1 adalah ringan, skor 2-7 sedang dan skor 8 atau lebih adalah berat.
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan dalam mendiagnosis penyakit croup. Temuan laboratorium pada penyakit croup tidaklah khas dan jarang berguna dalam mendiagnosis croup. Pemeriksaan radiografis juga tidak diperlukan jika perjalanan penyakit sudah tampak secara klinis. Walaupun gambaran ”steeple sign” pada foto radiografis leher dapat menunjang diagnosis, namun gambaran ini hanya didapatkan pada 50% kasus. Akan tetapi, jika terdapat kecurigaan laringotrakeo-bronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis maka pemeriksaan sel darah putih, hitung jenis, foto thorak dan leher PA dan lateral diindikasikan. Jika ditemukan peningkatan leukosit yang di dominasi PMN kemungkinan sudah terjadi superinfeksi. Gambaran radiografis dada yang menunjukan adanya pneumonia bilateral menunjang diagnosis keterlibatan jalan napas bawah pada penyakit croup. Pada kasus laringotrakeitis tidak jarang pula dijumpai adanya infeksi bakteri sekunder. Hal ini perlu dipertimbangkan apabila dengan pengobatan kortikosteroid yang adekuat tidak mengalami perbaikan.
Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam diagnosis croup. Adanya pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah satu pertimbangan untuk tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya dilakukan pada kecurigaan selain viral / spasmodik croup.
Kortikosteroid merupakan pengobatan evidence based utama pada croup yang telah diteliti dan disepakati. Penggunaan kortikosteroid pada menajemen croup antara lain budesonid nebulisasi dan dexamethason oral. Pada kebanyakan kasus croup cukup digunakan dexametason 0,6 mg/kgBB per oral / intramuskular. Dapat pula diberikan prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, dapat diulang 6 – 24 jam. Namun pada kasus berat dapat dipertimbangkan pemberian budesonid nebulisasi 2-4 mg (2ml) dapat diulang 12 – 48 jam pertama, karena efek terapi budesonid nebulisasi terjadi dalam 30 menit sedangkan efek kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam. Pada sebagian besar kasus, pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada kortikosteroid sistemik.
Selain itu juga digunakan Adrenalin racemik untuk membantu meringankan gejala sesak dengan mengurangi edema dan sekresi lendir mukosa saluran nafas (perangsangan pada reseptor alfa) serta membuat relaksasi otot bronkus (reseptor beta). Pada umumnya, adrenalin racemik digunakan pada kasus sindrom croup derajat sedang - berat. Dari hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa adrenalin racemik secara signifikan efektif menurunkan skor croup. Namun efek ini hanya berlangsung dua jam dan pasien harus tetap diobservasi karena gejala dapat muncul kembali yang merupakan efek fenomena rebound dari penggunaan adrenalin. Adrenalin racemik dapat diberikan nebulisasi maupun dengan tekanan positif intermiten. Akan tetapi adrenalin racemik belum ada di Indonesia.
Dapat digunakan pula adrenalin 1:1000 sebanyak 5 ml dalam 2ml salin diberikan melalui nebulizer. Efek terapi dapat terjadi dalam dua jam. Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada pengobatan sindrom croup. Antibiotik hanya digunakan pada laringotrakeobronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis yang disertai infeksi bakteri.
Untuk menurunkan demam diberikan Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB. Untuk mengencerkan sekresi lendir, juga diberikan ambroksol dengan dosis dosis 0,5 mg/kgBB/kali. Karena sebagian besar croup adalah infeksi virus, maka terapi suportif seperti roborantia dapat diberikan Salbutamol merangsang reseptor beta pada bronkus sehingga terjadi relaksasi otot bronkus. Penggunaan salbutamol pada pasien croup kurang tepat karena patofisiologi utama yang terjadi adalah edema mukosa bukan bronkokonstriksi (efek B adrenergik).
a.    Laringomalasia
Laringomalasia adalah kelainan kongenital yang terjadi akibat kurang berkembangnya kartilago yang menyokong struktur supraglotis. Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat kelainan genetik atau kelainan embrionik. Walaupun dapat terlihat saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni.
Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya. Frekuensi kejadian laringomalasia tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoris, yaitu suara kasar dengan nada tinggi sedang yang terdengar sewaktu bayi menarik nafas. Insidens laringomalasia sebagai penyebab stridor inspiratoris berkisar antara 50%-70%. Tidak ada perbedaan ras ataupun jenis kelamin.
Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik pada bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.
Terdapat 3 gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan kelainan laring kongenital antara lain :
1.    obstruksi jalan napas.
2.    tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris.
3.    serta kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus.
Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat baru dilahirkan. Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 – 9 bulan. Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya pada usia 18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas lima tahun. Stridor tidak terus-menerus ada, namun lebih bersifat intermiten dan memiliki intensitas yang bervariasi.
Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras stridor.
Dari anamnesis dapat kita temukan, riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya membingungkan. Stridorn persisten dan tidak terdapat sekret nasal.
Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan.Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu, aliran udara nasal terdengar dan suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis.
Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui. Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel selama respirasi spontan.

3. Patofisologi
Adanya faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi dapat menyebabkan terjadinya inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea, sehingga mengganggu gerakan plica vocalis. Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan terdengar juga saat ekspirasi. Edema pada plica vocalis akan mengakibatkan suara parau. Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan alveoli, sehingga terjadi laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.  Pada spasmodic croup  terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi terutama disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung infeksi virus.
Stridor dihasilkan oleh aliran udara turbulensi yang melalui saluran nafas yang lebar. Hal ini terjadi ketika volume udara pernafasan normal bergerak melalui saluran nafas yang sempit, yang akan menghasilkan aliran normal (luminar) menjadi turbulen. Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan terdengar juga saat ekspirasi.
Stridor umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas antara hidung dan saluran napas atas. Obstruksi pada hidung atau faring dapat menghasilkan suara snoring atau gurgling. tempat obstruksi menentukan kualitas suara yang dihasilkan oleh aliran nafas turbulen yang melewati jalan nafas yang sempit. Aliran napas turbulen di laring atau saluran napas atas menghasilkan suara stridor. Udem dan inflamasi pada daerah subglotis menghasilkan stridor inspirasi. Dimana obstruksi dibawah kartilago krikoid bisa menyebabkan stridor inspirasi dan ekspirasi. Saluran napas atas pada bayi dan anak lebih rentan mengalami obstruksi karena anatomi anak dan dewasa berbeda. Lidah anak relatif lebih besar, dan epiglotis tidak kaku dan berbentuk seperti omega (Ÿ). Sudut yang dibentuk antar epiglotis dan glotis lebih kecil pada anak, yang mana membuat pengaturan jalan napas lebih sulit. Struktur kartilago kurang kaku pada bayi. Hal inilah yang menyebabkan penyempitan jalan napas dan aliran udara yang turbulen. Hal ini terjadi lebih sering pada anak karena cincin trakea bentuknya kurang baik. Selain itu ukuran jalan napas yang lebih kecil pada anak membuat tahanan aliran udara lebih besar ketika ada obstruksi.

4. Penatalaksanaan.
Hal ini tergantung pada penyebab stridor tersebut. Manajemen penyebab tertentu mungkin sangat berbeda. Namun, poin umum berikut dapat dibuat: Manajemen darurat pada dasarnya adalah tentang pemeliharaan jalan napas. Penderita yang sakit (moderat sampai berat stridor) harus disimpan nihil melalui mulut.Jika pengelolaan jalan napas gagal, prosedur resusitasi harus diikuti.
Dalam hal penghentian stridor dengan obstruksi jalan napas:
  1. Penghentian mendadak dapat pemberita obstruksi stridor lengkap dengan gerakan dada tapi tidak ada bunyi nafas .
  2. Pasien akan segera menjadi sadar.
  3. Jika ada tanda-tanda obstruksi jalan napas dari benda asing yang dicurigai, cobalah untuk menghapus ini dengan pukulan punggung atau perut menyodorkan (jelas tidak tepat dalam epiglotitis akut).
  4. Berikan oksigen.
  5. Jika perlu, lakukan darurat intubasi endotrakeal , krikotiroidotomi atau trakeostomi dengan ventilasi mekanik.
  6. Bersiaplah untuk hisap disedot setiap muntah atau darah melalui tabung endotrakeal atau trakeostomi.
Pernafasan pasien dibantu dengan pemberian oksigen dan humidifikasi. Jika penyebabnya telah diketahui, pengobatan yang tepat pada penyebabnya adalah pemberian antibiotik tanpa steroid pada kasus dengan peradangan. Bila sumbatannya sudah parah, diperlukan pernafasan buatan dengan intubasi endotrakea. Pada kasus dengan benda asing, maka benda asing itu harus dibersihkan atau dikeluarkan. Tumor berupa papiloma harus diangkat dan jika menimbulkan sumbatan yang besar maka diperlukan tindakan trakeostomi yang dilakukan apabila adanya obstruksi jalan nafas bagian atas, ventilasi mekanik jangka panjang dan kebutuhan akan hygene pulmoner yang intensif. Klien yang menggunakan trakeostomi memerlukan asuhan keperawatan spesialis untuk mengelola slang trakeostomi itu sendiri dan stoma pada leher klien.
  1. KONSEP KEPERAWATAN
1.  Pengkajian
a.    Identitas.
Anak-anak lebih berisiko terhadap penyumbatan saluran napas karena saluran udara mereka lebih sempit daripada saluran udara orang dewasa. Resiko laki – laki dibandingkan perempuan adalah 3:2.
b.    Riwayat Keperawatan.
1)    Keluhan utama.
Kebanyakan klien mengeluh kesulitan bernafas
2)    Riwayat penyakit sekarang.
Susah bernafas, dan ada suara bising saat bernafas.
3)    Riwayat penyakit dahulu.
Adanya infeksi saluran pernafasan, adanya kelainan congenital, dan trauma.
4)    Nutrisi.
Klien biasanya kurang nafsu makan
5)    Kebutuhan aktivitas
a)  Malaise
b)  Mudah lelah
c)  Aktifitas terbatas
6)    Sistem pernafasan
Penurunan suplai oksigen, bradipneu, gangguan kebersihan jalan nafas, suara serak, sesak nafas dan batuk.
7)    Sirkulasi
Penurunan jumlah eritrosit, iskemik

2.  Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien adalah:
a.    Gangguan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penumpukan lendir di saluran pernafasan
b.    Gangguan pola nafas yang berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.

3.    Intervensi
Diagnose I      : Gangguan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penumpukan lendir di saluran pernafasan
Tujuan             : menghilangkan lendir yang ada di saluran pernafasan
Kriteria hasil    : saluran pernafasan dapat bersih kembali
Intervensi        :
a.    Kaji TTV klien
R/  : klien dapat mengalami perubahan dalam RR, TD, nadi dan suhu
b.    Bersihkan lender dalam saluran pernafasan klien
R/  : stridor terdapat sumbatan yang berupa lender dalam saluran pernafasan jadiperlu dibersihkan
c.    Posisikan klien dalam posisi datar (tempat tidur didatarkan)
R/ :posisi datar dapat mempermudah keluarnya lender dari saluran pernafasan
d.    Berikan penjelasan tentang penyakit klien
R/ :penkes ini bertujuan agar pasien mengetahui tentang status kesehatannya
e.    Kolaborasi pemberian
R/  : suatu tindakan profesionalisasi profesi demi meningkatkan status klien

Diagnose II     : Gangguan pola nafas yang berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.
Tujuan             : Frekuensi pernafasan yang efektif
Kriteria Hasil   : frekuensi pernafasan kembali normal, obstruksi di saluran nafas hilang
Intervensi        :
a.    Kaji auskultasi, catat adanya bising, wheezing
R/  : beberapa derajat spasme bronkus terjadi obstruksi jalan nafas, bunyi bising terjadi pada saat inspirasi, dan wheezing terjadi saat ekspirasi.
b.    Kaji frekuensi pernafasan klien. Catat rasio inspirasi / ekspirasi.
R/  :Takipneu biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress atau adanya infeksi akut.
c.    Berikan posisi semi fowler.
R/ : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
d.    Pertahankan polusi lingkungan minimum.
R/  : Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode akut.
e.    Kolaborasikan dengan dokter dalam melakukan trakeostomi.
R/  :
4.      Implementasi
a.    Diagnosa I
1)    Mengkaji TTV klien
2)    Membersihkan lender dalam saluran pernafasan klien
3)    Memposisikan klien dalam posisi datar (tempat tidur didatarkan)
4)    Memberikan penjelasan tentang penyakit klien
5)    Mengkolaborasikan pemberian
b.    Diagnosa II
1)      Mengkaji auskultasi, catat adanya bising, wheezing
2)      Mengkaji frekuensi pernafasan klien. Catat rasio inspirasi / ekspirasi
3)      Memberikan posisi semi fowler
4)      Mempertahankan polusi lingkungan minimum
5)      Mengkolaborasikan dengan dokter dalam melakukan trakeostomi
5.    Evaluasi
a.    Diagnosa I
1)    Frekuensi pernafasan kembali normal,
2)    Obstruksi di saluran nafas hilang
b.    Diagnosa II
saluran pernafasan dapat bersih kembali

DAFTAR PUSTAKA

Wareing MJ, Mitchell D ; psikogenik stridor: diagnosis dan manajemen. J Med Accid Pgl. September 1997; 14 (5) :330-2. [Abstrak]




3 komentar:

  1. Numpang nanya mbak putu novie saya punya anak dengan diaknosis laringomalasia,phenemonie. +tumor colli dan sekarang sudah dibuatkan trakeustomi mulai umur 1bulan dan skrang sudah berumur 8bulan dan mulai bayi sampai sekarng asupan gizi masih lewat selang ngt,yang jadi pertanyaan saya kenapa kenapa jika dicoba minum susu langsung lewat mulut susu itu keluar lewat lubang trakeustomi,sedangkan saya melihat anak lain dengan diaknosis yang sama kok enak makan dan minumnya tanpa selang ngt,mohon dijawab kebingungan kami selaku ortu pasien makasih.

    BalasHapus
  2. Numpang nanya mbak putu novie saya punya anak dengan diaknosis laringomalasia,phenemonie. +tumor colli dan sekarang sudah dibuatkan trakeustomi mulai umur 1bulan dan skrang sudah berumur 8bulan dan mulai bayi sampai sekarng asupan gizi masih lewat selang ngt,yang jadi pertanyaan saya kenapa kenapa jika dicoba minum susu langsung lewat mulut susu itu keluar lewat lubang trakeustomi,sedangkan saya melihat anak lain dengan diaknosis yang sama kok enak makan dan minumnya tanpa selang ngt,mohon dijawab kebingungan kami selaku ortu pasien makasih.

    BalasHapus
  3. Numpang nanya mbak putu novie saya punya anak dengan diaknosis laringomalasia,phenemonie. +tumor colli dan sekarang sudah dibuatkan trakeustomi mulai umur 1bulan dan skrang sudah berumur 8bulan dan mulai bayi sampai sekarng asupan gizi masih lewat selang ngt,yang jadi pertanyaan saya kenapa kenapa jika dicoba minum susu langsung lewat mulut susu itu keluar lewat lubang trakeustomi,sedangkan saya melihat anak lain dengan diaknosis yang sama kok enak makan dan minumnya tanpa selang ngt,mohon dijawab kebingungan kami selaku ortu pasien makasih.

    BalasHapus